Sunday, April 30, 2006

Kopi

Tiba-tiba saja saya tersedak ketika meneguk kopi siang itu. Sebabnya bukan karena menelan terlalu cepat tetapi karena bacaan yang ada dipangkuan saya. Pada tabloid Indomedia edisi 26, terdapat satu ulasan yang membicarakan perkara ngopi. Dalam artikel itu dikatakan bahwa ngopi-ngopi merupakan bagian dari kehidupan anak muda sekarang dan lebih lagi adopsi dari kebudayaan Eropa.


Sejenak saya merenungi kalimat-kalimat itu. Apakah memang benar demikian? Lantas terbayang di benak saya sekumpulan orang duduk-duduk di sebuah warung di pinggir jalan. Tak ada jendela kaca yang besar, pramusaji berseragam yang setia memberikan senyum terbaiknya, dan suara bising mesin pembuat kopi. Yang ada hanyalah gubuk terbuat dari anyaman bambu atau terkadang tripleks dengan bangku panjang dari kayu. Disudut meja terdapat dua buah termos besar dikelilingi beberapa gelas dan tiga toples berisi gula, teh serta kopi. Ini bukan gambaran sebuah warung di Paris atau Sydney. Tetapi gambaran warung kopi di beberapa pelosok di Indonesia.

Gambaran diatas dengan cepat memberikan jawaban atas pertanyaan yang tengah saya renungkan. Ngopi bukan hal yang baru di Indonesia. Petani biasa berkumpul di dangau bersama kawan-kawannya selepas menggarap sawah atau ladang. Tukang becak menyempatkan diri mampir di warung dan bertukar cerita dengan pemulung sambil minum kopi dan melahap camilan pisang goreng atau bakwan.

Jika ngopi bukan hal yang baru lalu bagaimana dengan anggapan bahwa ngopi-ngopi yang populer sekarang ini adalah hal yang baru. Yang baru adalah kebiasaan ngafe. Ngafe tentu lain dengan ngopi. Ngafe adalah kegiatan yang dilakukan di kafe atau pendeknya kongkouw di kafe. Berbeda dengan ngopi di warung tradisional, kafe menawarkan tidak hanya panganan atau minuman tetapi juga atmosfer. Lihat saja puluhan kafe yang berserakan, bangunan dan desain kafe tak sesedarhana warung tradisional. Ruangan kafe ditata rapi dan dihias pernak-pernik di sana-sini. Di samping itu warna-warna yang terang dan penuh keriaan mengisi ruangan kafe. Semuanya ini dibuat agar para pelanggan atau tamu merasa betah dan nyaman. Ditambah lagi, kafe memiliki pramusaji yang berseliweran membawa pesanan. Tak seperti warung tradisional yang mungkin dapat ditemui di setiap pojokan jalan, kafe berlokasi di tempat-tempat yang dekat dengan pusat bisnis, perkantoran atau mall.

Dari segi pelanggan, kafe memiliki pelanggan dari kelas menengah keatas, sedangkan warung tradisional banyak dipenuhi oleh kalangan menangah kebawah. Tak sulit untuk mengerti adanya perbedaan pelanggan ini. Harga makanan dan minuman di kafe jauh lebih mahal dari warung tradisional. Begitu juga pilihan menunya, kafe memiliki menu lebih beragam ketimbang warung tradisional. Kita mungkin tak akan menemukan foccaccia atau muffin dalam daftar menu di warung, namun nama-nama yang terdengar ‘funky’ mengisi deretan menu di kafe. Minuman yang tersedia di kafe lebih beraneka ragam ketimbang warung kopi biasa. Untuk kopi saja, kafe memiliki beberapa jenis kopi seperti cafĂ© late, flat white, machiato, cafe and liquor (kopi yang dicampur dengan minuman beralkohol). Sementara di warung tradisional, jenis kopi yang disuguhkan hanya kopi tubruk. Paling-paling variasinya hanya kopi susu. Jangan harap minta yang macam-macam misalnya kopi dengan susu kedelai atau kopi dengan susu yang kadar lemaknya rendah. Niscaya sajian itu tak akan datang ke meja kita dan sebagai gantinya senyum kecut si penjual.

Bagaimana kebiasaan ngopi di kafe tiba-tiba digemari oleh anak-anak muda? Bukankah terlihat lebih keren meneguk minuman berwarna-warni dengan gelas penuh hiasan?
Sesungguhnya bukan ngopinya yang digemari melainkan image. Ngopi di kafe atau nongkrong di kafe tidak berarti apa-apa. Toh kalau dilihat harganya tergolong mahal, apalagi dengan harga yang di atas rata-rata belum menjamin bahwa makanannya enak. Namun apa yang didapatkan dari ngopi-ngopi di kafe adalah image. Dalam konteks sekarang, ngopi di kafe akan memberikan kesan kosmopolit, moderen, global, trendi. Kafe melengkapi kesan yang sudah didapat dengan mengenakan pakaian yang penuh dengan merek ternama semacam Converse, Abrecrombie, telepon selular tercanggih. Kesan ini kemudian dianggap sebagai identitas atau tepatnya identitas urban. Dengan memiliki semua itu "kita seolah sudah berubah menjadi orang dengan identitas baru". Namun bagi mereka yang tak mampu membeli kesan tersebut harus rela dicap kampungan.

Ngopi (ngafe) kemudian menjadi perlambang modernitas. Bagi mereka yang tak pernah merasakannya akan tersapu oleh gelombang perubahan yang akbar. Fenonemena ini seperti ulangan ketika Belanda datang ke Indonesia atau ketika pasukan Amerika mendarat di Jepang. Kedatangan warga asing tersebut merubah cara dan kebiasaan masyarakat setempat. Nonton film, minum-minuman bersoda, musik jazz, dan dansa mengganti kebiasaan tradisional. Anak-anak muda Indonesia maupun Jepang dengan cepat meninggalkan pakaian tradisionalnya dan menggantinya dengan apa yang dipakai oleh orang Amerika atau Belanda. Gejala yang sama terulang lagi di tahun 70-an ketika gaya berpakaian James Dean, kaus oblong dan celana ketat menjadi pilihan remaja perkotaan. Kemudian di tahun-tahun berikutnya Breakdance (Tari Kejang), kemeja planel ala Eddie Vedder, Pearl Jam atau kelompok musik alternatif asal Amerika atau ketika Lupus dengan rambut gondrong, tas yang panjang dan permen karet-nya menjadi panutan.

Munculnya kebiasaan baru ini tak lepas dari perkembangan teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi menggelindingkan roda globalisasi dengan lebih cepat. Majalah, televisi, film dan internet dianggap sebagai pembawa pesan paling handal dalam sejarah manusia. Semakin canggihnya teknologi informasi membuat pesan dapat dikirim dalam hitungan detik. Anak-anak muda dengan mudahnya bisa mengetahui berita terbaru tentang idola mereka, atau kebiasaan yang ada di belahan dunia lain. Tidak saja sebagian masyarakat yang menikmati kemajuan ini tetapi juga perusahaan-perusahaan yang berlomba-lomba menjajakan dagangan mereka ikut serta.

Dengan adanya media-media semacam itu, lalu lintas budaya bukan persoalan yang rumit. Dalam hal ngopi misalnya, kita bisa saksikan bahwa di kota-kota metropolitan lain, masyakarat biasa duduk-duduk minum kopi di pinggir jalan. Lantas, mulai dibuka kafe-kafe yang menyediakan kopi serta camilan. Kebiasaan ini pun menyelinap perlahan dan kemudian menjadi bagian dari keseharian. Kebiasaan ngafe dengan cepat menjadi bagian dari kehidupan kelas menengah perkotaan. Hal ini tak lepas dari kesan kosmopolitan yang muncul jika melakukan kebiasaan ini. Kejadian ini tampaknya hendak mengulang kesuksesan invasi junk food seperti McDonald, Kentucky Fried Chicken di Indonesia.

Kembali soal kopi, kopi bukan berasal dari Eropa. Konon pertama kali kopi ditemukan di Afrika. Penemuan ini tidak disengaja. Seorang, pemuda bernama Kaldi asal Caffa, Etiopia, heran melihat kambing peliharaannya berubah menjadi sangat aktif setelah memakan buah semacam ceri. Lalu ia mencobanya dan mengalami dampak serupa: hiperakif. Sekitar abad ke-10 hingga 15 kopi hanya melanglang buana di sekitar Arab dan Afrika. Baru sekitar awal abad 16 kopi mulai masuk ke Eropa.

Di negara seperti Australia, nongkrong di kafe bukan hal yang baru apalagi dianggap keren. Ini adalah hal biasa, sebiasa kita makan nasi dan tempe di Indonesia. Selain bar dan pusat perbelanjaan, kafe adalah tempat yang paling banyak dikunjungi. Hal ini dapat dimengerti jika melihat gaya hidup di negara seperti Australia yang sangat berbeda. Seringkali pertemuan dengan teman terjadi di kafe lantaran waktu yang terbatas. Jam kerja yang padat tak banyak menyediakan waktu untuk beranjangsana sehingga waktu luang yang tersedia digunakan untuk kongkow entah itu di bar atau kafe. Berbeda dengan di Indonesia, kita bisa langsung datang ke rumah teman dan ketuk pintu, lalu ngobrol seharian sembari minum kopi dan singkong goreng.

Tampaknya kecenderungan ngopi di kafe barangkali berkaitan dengan munculnya raksasa warung kopi Starbucks. Memang kafe-kafe sudah berserakan di Jakarta sebelum Starbucks datang namun kehadiran Starbucks tampaknya mendorong kebiasaan ngopi di kafe menjadi sebuah kecenderungan. Apa yang menyebabkan hal ini menjadi sebuah tren adalah strategi Starbucks, seperti halnya pedagang-pedagang raksasa lain semisal Nike, untuk tidak hanya menjual kopi melainkan identitas. Coba saja simak komentar Scott Bedburry, wakil presiden Starbucks yang dikutip dalam buku No Logo karangan Naomi Klein: "pelanggan tidak sepenuhnya percaya bahwa ada perbedaan yang besar diantara produk-produk," karena itu merek harus [mampu] membangun hubungan emosional dengan para pelanggan" (Klein 2000). Howard Shultz yang menjabat direktur eksekutif menambahkan: orang-orang yang mengantri di Starbucks bukan hanya karena ingin membeli kopi melainkan "romansa dari pengalaman menikmati kopi, perasaan kehangatan dan komunitas yang mereka dapatkan di toko-toko Starbucks" (Klein 2000). Bukankan pernyataan ini begitu meyakinkan? Apalagi ditambah cerita-cerita yang muncul dari beberapa orang yang pernah nongkrong di sana: "wah tempatnya asyik man!", "FYI (for your information), ada tempat nongkrong yang enak, namanya Starbucks", atau "tante gua bilang, banyak anak muda di luar negeri pada nongkrong di Starbucks, kesannya cool". Apa yang terjadi kemudian mudah ditebak. Segerombolan eksekutif muda, anak-anak SMA, mahasiswa dan mahasiswi berbondong-bondong menuju Starbucks. Its cool!

Namun dibalik kesan Starbucks yang cool, Starbucks adalah perusahaan yang kerap menjadi sasaran kritik lantaran tidak melaksanakan perdagangan yang adil. Harga kopi di Starbucks cukup mahal dan mereka mendapatkan kopi dari para petani dengan harga murah. Kocek Starbucks dengan mudah dapat menggelembung dari perbedaan antara murahnya harga kopi dan tingginya harga jual. Selain itu Starbucks pernah mendapatkan masalah perburuhan di Amerika. Para buruh-buruh Starbucks di New York protes lantaran bayaran mereka terlalu kecil (sekitar 7 dolar per jam) dan tak dapat memenuhi kebutuhan hidup kota New York yang mahal.

Jika para petani kopi diberitahu bahwa minum kopi menjadi sebuah identitas pastilah mereka mengernyitkan dahi. Toh minum kopi bagi mereka seperti layaknya makan siang. Tak ada yang istimewa. Justru masalahnya bagi mereka bukan persoalan identitas atau menjadi cool, kopi berkaitan erat dengan hidup mereka yang miskin. Namun tidak bagi sebagian anak-anak dari kota besar kopi menjadi semacam salah satu kunci untuk bisa terlihat kosmopolit atau cool.

No comments:

Templates-Gallery